Category Archives: Kliping Berita

Kemensos Ingin Pekerja Sosial dan Relawan Disertifikasi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kementerian Sosial mendorong adanya sertifikasi bagi pekerja sosial dalam penanggulangan bencana.

Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial RI Harry Hikmat menjelaskan peningkatan kemampuan pekerja sosial sangat diperlukan untuk meningkatkan efektivitas bansos dan pemulihan psikososial masyarakat yang terpapar bencana.

Untuk itu, harus ada sertifikasi bagi pekerja sosial dan relawan sosial TAGANA.

“Kemampuan dan ketangkasan para pekerja sosial mesti ditingkatkan untuk menjawab perkembangan permasalahan sosial di masyarakat. Kita mesti mengikuti perkembangan pendekatan, metode dan teknik-teknik dalam menyelesaikan masalah sosial berbasis ilmu pekerjaan sosial, tidak bisa menggunakan cara cara konvensional,” ujar Harry Hikmat, Senin(5/6/2017).

Harry juga mengaku akan menggandeng Pujiono Learning Centre dalam meningkatkan kemampuan pekerja sosial dan TAGANA di seluruh Indonesia.

Kerjasama ini lanjut Harry berupa peningkatan standar kompetensi pekerja sosial dan relawan sosial dalam penanggulangan bencana termasuk Kementerian Sosial mendorong adanya sertifikasi bagi pekerja sosial dalam penanggulangan bencana.

“Jika semua terlaksana dengan baik maka pemerintah akan mempunyai pekerja sosial yang mempunyai spesialisasi penanganan korban bencana disamping masalah sosial lainnya,” kata Harry.

Saat ini program studi pekerjaan sosial dengan kebencanaan sudah ada di STKS Bandung, namun baru tahun kedua.

“Kita butuh percepatan peningkatan kompetensi pekerja sosial. Paling tidak satu kabupaten/kota ada 50 pekerja sosial ahli penanggulangan bencana, sehingga butuh sekitar 25.000 orang pekerja sosial sampai dengan tahun 2019,”ujar Harry.

Indonesia sebagai negara yang rawan akan bencana tentunya membutuhkan kehadiran pekerja sosial yang sangat tanggap.

Tercatat pada tahun 2016 lalu sebanyak lebih dari 1,3 juta korban bencana alam yang membutuhkan penanganan layanan dukungan psikososial.

“Tahun ini dengan adanya iklim yang tidak menentu tentunya dikhawatirkan lebih banyak korban lagi yang harus kita tangani,” tegas Harry.

Selain meningkatkan kemampuan pekerja sosial, Kemensos juga akan terus berupaya meningkatkan kemampuan masyarakat untuk ikut terlibat aktif dalam menangani masalah sosial di lingkungan mereka seperti pembentukan Kampung Siaga Bencana.

“Peran aktif masyarakat seperti TAGANA yang saat ini telah menjadi andalan pemerintah dalam penanggulangan bencana dan pekerja sosial akan hadir bersama TAGANA dalam menyelesaikan persoalan secara cepat dan profesional” ujar Harry.

Sumber: http://www.tribunnews.com/nasional/2017/06/05/kemensos-ingin-pekerja-sosial-dan-relawan-disertifikasi

Relawan tanggap bencana harus bersertifikasi

Rimanews – Kementerian Sosial mendorong adanya sertifikasi bagi pekerja posial dalam penanggulangan bencana. Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial RI Harry Hikmat menjelaskan, peningkatan kemampuan pekerja sosial diperlukan untuk meningkatkan efektivitas bantuan sosial dan pemulihan psikososial masyarakat yang terpapar bencana.

“Kemampuan dan ketangkasan para pekerja sosial mesti ditingkatkan untuk menjawab perkembangan permasalahan sosial di masyarakat. Kita mesti mengikuti perkembangan pendekatan, metode dan teknik teknik dalam menyelesaikan masalah sosial berbasis ilmu Pekerjaan Sosial, tidak bisa menggunakan cara cara konvensional,” kata Harry Hikmat dalam keterangan persnya, hari ini.
Continue reading

Kemensos Butuh 25 Ribu Pekerja Sosial Sampai 2019

Petugas Taruna Siaga Bencana (TAGANA) Kota Tangerang membantu mengevakuasi warga korban banjir di perumahan Total Persada, Tangerang, Banten, Senin (14/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kementerian Sosial (Kemensos) mendorong adanya sertifikasi bagi pekerja sosial dalam penanggulangan bencana. Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial Kemensos, Harry Hikmat menjelaskan, peningkatan kemampuan pekerja sosial sangat diperlukan untuk meningkatkan efektivitas bantuan sosial dan pemulihan psikososial masyarakat yang terpapar bencana. Untuk itu, kata dia, harus ada sertifikasi bagi pekerja sosial dan relawan Taruna Siaga Bencana (Tagana).

Pak Harry Hikmat, Kemensos memaparkan ttg kebijakan perlindungan dan jaminan sosial

Pak Harry Hikmat, Kemensos memaparkan ttg kebijakan perlindungan dan jaminan sosial. Foto: Dok Pucen

“Kemampuan dan ketangkasan para pekerja sosial mesti ditingkatkan untuk menjawab perkembangan permasalahan sosial di masyarakat. Kita mesti mengikuti perkembangan pendekatan, metode dan teknik teknik dalam menyelesaikan masalah sosial berbasis ilmu pekerjaan sosial, tidak bisa menggunakan cara cara konvensional,” ujar Harry di Pujiono Learning Centre, Yogyakarta, dalam siaran pers kepada Republika, Senin (5/6).

Harry mengaku akan menggandeng Pujiono Learning Centre dalam meningkatkan kemampuan pekerja sosial dan Tagana di seluruh Indonesia. Kerja sama itu berupa; peningkatan standar kompetensi pekerja sosial dan relawan sosial dalam penanggulangan bencana, termasuk membangun sistem sertifikasi serta lisensi praktik pekerjaan sosial dalam penanggulangan bencana.

“Jika semua terlaksana dengan baik maka pemerintah akan mempunyai pekerja sosial yang mempunyai spesialisasi penanganan korban bencana disamping masalah sosial lainnya,” ujar Harry.

Saat ini, Program Studi Pekerjaan Sosial dengan Kebencanaan sudah ada di Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung, yang memasuki tahun kedua. Menurut Harry, Indonesia sebagai negara yang rawan akan bencana tentunya membutuhkan kehadiran pekerja sosial yang sangat tanggap. Tercatat pada 2016, sebanyak lebih 1,3 juta korban bencana alam yang membutuhkan layanan dukungan psikososial.

“Kita butuh percepatan peningkatan kompetensi pekerja sosial. Paling tidak satu kabupaten/kota ada 50 Pekerja Sosial Ahli Penanggulangan Bencana, sehingga butuh sekitar 25 ribu pekerja sosial sampai tahun 2019,” kata Harry.

Selain meningkatkan kemampuan pekerja sosial, Kemensos juga akan terus berupaya meningkatkan kemampuan masyarakat untuk ikut terlibat aktif dalam menangani masalah sosial dilingkungan mereka, seperti pembentukan Kampung Siaga Bencana. “Peran aktif masyarakat seperti Tagana yang telah menjadi andalan pemerintah dalam penanggulangan bencana dan pekerja sosial akan hadir bersama Tagana dalam menyelesaikan persoalan secara cepat dan profesional,” ujar Harry.

Sumber: http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/17/06/05/or2ir5349-kemensos-butuh-25-ribu-pekerja-sosial-sampai-2019

UU Penanggulangan Bencana Perlu Direvisi

Anggota DPD RI dapil DIY Afnan Hadikusumo menilai perlu adanya revisi UU Penanggulangan Bencana. (Foto : FX Harminanto)

Anggota DPD RI dapil DIY Afnan Hadikusumo menilai perlu adanya revisi UU Penanggulangan Bencana. (Foto : FX Harminanto)

YOGYA (KRjogja.com) – Diskusi cukup seru terjadi di Bangsal Pracimosono Kompleks Kepatihan Kamis (23/02/2017) siang. DPD RI menggagas diskusi membahas perubahan undang-undang no 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana yang dirasa memiliki kelemahan.

Afnan Hadikusumo, anggota DPD RI dari dapil DIY mengatakan selama ini masih ada beberapa permasalahan di lapangan terkait implementasi UU penanggulangan bencana. Menurut dia, ada tiga hal yang harus segera diperhatikan yakni pengorganisasian, penerapan status kebencanaan dan kelancaran pendanaan.

“Selama ini kami melihat dan mendapatkan laporan dari lapangan bawasanya ada tiga hal yang perlu direvisi yakni pengorganisasian, penerapan status kebencanaan tingkatan nasional, regional atau lokal dan satu lagi yakni kelancaran pendanaan. Inilah mengapa kami memandang perlu adanya revisi undang-undang tersebut, agar implementasi di lapangan semakin maksimal,” ungkapnya.

Afnan menilai dengan adanya revisi, kelemahan UU penanganan bencana yang selama ini dirasakan di lapangan bisa dikurangi. “Bencana kita memahami sebagai sesuatu hal yang darurat, di mana semua dalam kondisi darurat namun paling tidak dengan revisi UU ini kita bisa mengurangi kelehamannya,” imbuhnya.

Dalam diskusi tersebut muncul pula harapan agar revisi undang-undang ini nantinya tidak menimbulkan permasalahan baru. Apalagi, selama ini banyak yang menilai bahwa undang-undang masih memuat kepentingan kelompok-kelompok tertentu bukan untuk seluruh masyarakat Indonesia.

“Ini pula yang akan kita bahas bersama pemerintah dan DPR RI termasuk penggunaan anggaran juga komando di tingkat daerah yang seharusnya lebih tinggi daripada SKPD lainnya. Tujuan kami yang terpenting yakni menjebol kebekuan selama ini, secara teknis mungkin ada peraturan pemerintah dulu,” imbuhnya lagi.

Sementara Kepala Dinas Sosial DIY Untung Sukaryadi menilai perlu adanya revisi UU penanggulangan bencana ini. Menurut dia, pejabat pengambil keputusan membutuhkan perlindungan saat mengambil kebijakan saat terjadi bencana.

“Misalnya saja ketika terjadi bencana di malam Sabtu di mana esoknya instansi terkait libur padahal pejabat harus mengambil kebijakan sesegera mungkin menangani bencana, ini kan jelas menjadi kesulitan dan hambatan besar. Kalau bisa dalam undang-undang bisa diatur pejabat dari tingkat pusat hingga desa bisa mengeluarkan kebijakan, ada perlindungan hukumnya,” ungkap Untung. (Fxh)

Sumber: krjogja.com

Penting, Pengurangan Risiko Bencana

Negara setidaknya menanggung kerugian 30 triliun rupiah per tahun akibat kejadian bencana. Belum lagi, kejadian-kejadian khusus seperti kebakaran hutan dan lahan maka negara harus menanggung kerugian hingga 221 triliun. Peristiwa-peristiwa semacam ini tentu akan mengoreksi pertumbuhan nasional.

“Oleh karena itu,A� pengurangan risiko bencana menjadi penting. Karena sudah jelas bencana telah mengganggu pencapaian pembangunan nasional kita,” ujar Kepala BNPB, Willem Rampangilei, pada pembukaan Seminar Nasional Pengurangan Risiko Bencana, di Balai Senat, Selasa (14/2).

Willem Rampangilei merasa prihatin banyaknya korban jiwa akibat bencana. Ia mencontohkan tahun 2016 saja tercatat 516 jiwa meninggal dunia. Sementara itu, hingga Februari 2017 sebanyak 12 orang meninggal akibat longsor di Bali, belum yang di NTT dan Bitung.

“Sampang dari tahun 2015 hingga saat ini sudah 17 kali mengalami banjir. Kalau kita lihat bencana di Indonesia masih didominasi bencana hidrometeorologi,” katanya.

Selain kerugian material, bencana juga mengakibatkan kerugian bersifat immaterial. Bahkan, untuk memulihkan dampak psikologisnya sangat lama sehingga berakibat seseorang akanA� terganggu kehidupan sosialnya. Semua akan terganggu hingga pada kerusakan lingkungan, padahal untuk merehabilitasi lingkungan perlu waktu yang sangat lama.

Menurut Willem, perlu waktu ratusan tahun untuk memulihkan flora dan fauna akibat bencana. Beberapa bencana pun mengakibatkan masalah antar negara seperti bencana asap.

“Oleh karena itu, kita perlu melakukan sesuatu dan itulah gambaran sekilas pandang melihat Indonesia dari aspek kebencanaan. Kecenderungaan kedepan frekuensi dan intensitasnya akan meningkat,” tuturnya.

Kajian BNPB menunjukkan laju degradasi lingkungan lebih cepat daripada laju pemulihan yaitu sebanyak dua setengah kali lipat. Kondisi ini menjadikan BNPB melihat kedepan sebagai tantangan yang tidak lebih ringan.

Belum lagi, akibat pertumbuhan penduduk, urbanisasi, laju pembangunan dan ketidakseimbangan tata ruang, adalah faktor-faktor yang berpengaruh terjadinya bencana. Karena itu, dibutuhkan ruang hidup lebih banyak, perilaku, dan kesadaran masyarakat.

“Kalau dikatakan perilaku ini sebenarnya bukan hanya masyarakat, semua pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan ini, ada tiga yang utama, pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha,” imbuhnya.

Banjir di Bima, kata Willem, sebanyak 90 persennya berdampak pada kehidupan ekonomi sehingga kehidupan masyarakat lumpuh total kurang lebih 1 bulan. Dari peristiwa tersebut bisa dibayangkan kerugian yang harus ditanggung.

Oleh karena itu, bicara penanggulangan bencana maka disana ada pra bencana, yaitu disaster risk reduction, bagaimana dilakukan berbagai upaya pengurangan risiko bencana. Setelah itu, baru melakukan pengurangan dampak akibat bencana.

“Sementara saat terjadi bencana maka tanggap darurat dilakukan secara cepat untuk menyelamatkan jiwa manusia, mengurangi kerugian dan lain-lain sehingga kita segera masuk ke dalam tahap pemulihan, dan itulah penanggulangan bencana,” jelasnya.

Willem Rampangilei menandaskan penanggulangan bencana sangat kompleks dan multidimensional. Tidak hanya itu, bencana juga multi stakeholders dan multi disiplin ilmu. Dalam kondisi bencana dibutuhkan dokter, ahli jiwa, ahli remote sensing, ahli hukum dan lain-lain.

“Sedemikian kompleks penanggulangan bencana. Artinya, penanggulangan bencana tidak mungkin hanya dilakukan pemerintah, penanggulangan bencana is every one business, bencana adalah urusan kita bersama,” tandasnya.

Sementara itu, Rektor UGM, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., mengungkapkan jika di tahun 1960 sebanyak 85 persen penduduk Indonesia tinggal di desa-desa. Kondisi ini berkebalikan di tahun 2015 hingga sekarang ketika sebagian besar masyarakat desa banyak melakukan urbanisasi sehingga mereka yang tinggal di desa hanya 46 persen.

Celakanya, mereka yang tinggal di desa adalah orang-orang yang telah berusia lanjut. Belum lagi, tidak sedikit dari mereka adalah janda-janda dan miskin. Hal ini tentu menjadikan situasi daerah tersebut menjadi rawan terhadap pengurangan risiko bencana karena siapa yang akan menolong jika terjadi bencana.

“Atas kondisi tersebut UGM bertanggungjawab mengurangi ketimpangan dan kemiskinan, dan UGM bertekad mengembangkan smart and resilience village. Smart and Resilience Village ini dibangun melalui inovasi pengembangan sumber daya manusia, inovasi riset dan hilirisasi. Riset-riset yang akan dikembangkan antara lain riset kebencanaan untuk mengurangi risiko bencana,” katanya.

Dirjen Pembangunan Daerah Tertentu Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Dr. Ir. Suprayoga Hadi, MSP ., menambahkan dari 120 daerah tertinggal, sebanyak 95 desa merupakan daerah rawan bencana. Karena itu, mau tidak mau banyak pihak harus serius dalam konteks kebencanaan yang harus ditangani secara benar-benar dan serius.

“Jadi, salah satu karakteristik ketertinggalan itu adalah rawan terhadap bencana. Bagaimanapun juga kerawanan ini membutuhkan pengurangan risiko bencana. Untuk itu, kami butuh kerja sama termasuk pemanfaatan dana desaA� yang demikian besarnya untuk penguatan kapasitas masyarakat desa dan infrastruktur. Untuk pengurangan risiko bencana dan sebagainya maka kolaborasi kementerian Desa, BNPB, dan teman-teman perguruan tinggi serta pemerintah daerah sangat dibutuhkan,” tuturnya.

Seminar Nasional Pengurangan Risiko Bencana digelar atas kerja sama Universitas Gadjah Mada dan GNS Science, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dan didukung Kedutaan Besar New Zealand dan New Zealand Aid Programme. Seminar berlangsung selama tiga hari, 14-17 Februari 2017, dihadiri sejumlah narasumber diantaranya Duta Besar New Zealand untuk Indonesia, trevor Matheson, Dirjen Risiko Bencana BNPB, Lilik Kurniawan dan lain-lain. (Humas UGM/ Agung;foto: Firsto)

Sumber: UGM.ac.id