Tag Archives: Rumah Kajian Ervi Pujiono

Kerancuan Kelembagaan PB di Daerah Akibat Perbenturan Peraturan

YOGYAKARTA, PUCEN – Perbenturan peraturan mengakibatkan kesimpangsiuran pemahaman dan bentuk kelembagaan penanggulangan bencana di daerah yang selanjutnya menyebabkan keresahan para pelaksana penanggulangan bencana. Akibat lain adalah bentuk kelembagaan penanggulangan menjadi 3 (tiga) bentuk, yaitu badan, dinas dan kantor karena peerbenturan isi peraturan yang berlaku. Kesemua ini dianggap sebagai suatu bentuk pelemahan kelembagaan penanggulangan bencana di daerah yang dampak akhirnya adalah penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah mengalami kendala dan tidak dapat berjalan sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU No. 24/2007). Hal ini mengemuka dalam diskusi dan peluncuran buku bertajuk “Tatanan Kelembagaan PB di Daerah: Kajian Penerapan Kebijakan & Direktori BPBD Seluruh Indonesia”.

Suasana diskusi kelompok dalam sarasehan kelembagaan PB di Daerah pada 3 Juni 2017.

Suasana diskusi kelompok dalam sarasehan kelembagaan PB di Daerah pada 3 Juni 2017.

Kegiatan diskusi dan peluncuran buku ini dilaksanakan oleh Rumah Kajian Ervi Pujiono (RKEP) pada 3 Juni 2017 di Joglo Ervi Pujiono, Dusun Karanglo, Desa Donoharjo, Kec. Ngaglik, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kegiatan ini dihadiri oleh lebih dari 40 orang yang berasal dari Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) DIY, FPRB Jawa Barat / Konsorsium Anak Istimewa Jati Sunda, BPBD Kab. Bantul, BPBD Kab. Pacitan, MDMC Kab. Pacitan, Pasag Merapi, Aksara, Satunama, Lingkar, Circle Indonesia, Pusat Studi Bencana UGM, Tagana Kota Jogja, Tagana Kab. Sleman, Tagana Prov. DIY, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), BaReTa Pacitan, FKS Pacitan, Relawan PB Pacitan, Satpol PP Kab. Pacitan, RAPI Pacitan, Magister Manajemen Bencana UPN Veteran Yogyakarta,, Yakkum Emergency Unit (YEU), Menwa Universitas Sanata Dharma (USD), dan Pujiono Centre (Pucen) serta perorangan.

Narasumber peluncuran dan diskusi buku “Tatanan Kelembagaan PB di Daerah: Kajian Penerapan Kebijakan & Direktori BPBD Seluruh Indonesia” antara lain:

  1. Djuni Pristiyanto, Rumah Kajian Ervi Pujiono: “Peluncuran Buku Tatanan Kelembagaan PB di Daerah: Kajian Penerapan Kebijakan & Direktori BPBD Seluruh Indonesiaa” (unduh file PDF).
  2. Dwi Daryanto, Kalaks BPBD Bantul:
  3. Ranie Hapsari, Forum PRB DIY: “Peran Serta Masyarakat dalam PB” (unduh file PDF).
  4. Dr. Dyah Rahmawati Hizbaron, Fakultas Geografi & Pusat Studi Bencana, Universitas Gadjah Mada: “Kelembagaan PB Kontemplasi Praktik & Peran” (unduh file PDF).
  5. Moderator: Valentinus Irawan.

Setelah paparan keempat narasumber di atas kemudian dilanjutkan diskusi kelompok. Semua peserta kegiatan ini dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok badan, kelompok dinas dan kelompok kantor. Ketiga kelompok itu berdiskusi untuk meninjau pelaksanaan penanggulangan bencana dari segi koordinasi, pelaksanaan dan komando. Pada akhir diskusi kelompok ada paparan dari masing-masing kelompok mengenai hasil diskusi di kelompoknya masing-masing. Secara garis besar hasil diskusi kelompok tersebut antara lain berikut ini.

Paparan narasumber Pujiono Centre Djuni Pristiyanto mengenai perkembangan dan dinamika kelembagaan PB di Daerah pada 3 Juni 2017.

Paparan narasumber Pujiono Centre Djuni Pristiyanto mengenai perkembangan dan dinamika kelembagaan PB di Daerah pada 3 Juni 2017.

Perbenturan peraturan tersebut tersebut antara UU No. 24/2007 dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 23/2014) dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (PP No. 18/2016) yang mengatur kembali pembagian urusan pemerintahan di Indonesia. Di satu sisi memang ada kemajuan besar dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana di Indonesia, yaitu penyelenggaraan PB masuk dalam Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar “Sub urusan bencana pada Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Ketenteraman dan Ketertiban Umum serta Perlindungan Masyarakat”. Selain itu bidang penanggulangan bencana masuk dalam prioritas pembangunan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Akan tetapi, posisi lembaga penanggulangan bencana di daerah menjadi “menggantung” seperti yang terdapat dalam Pasal 117 PP No. 18/2016, khususnya pada bagian yang menguraikan mengenai pembentukan perangkat daerah sub urusan bencana sebagai berikut: (1) Ketentuan mengenai perangkat daerah yang menyelenggarakan sub urusan bencana diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai penanggulangan bencana; (2) Peraturan daerah mengenai pembentukan, fungsi, tugas, struktur organisasi, dan tata kerja perangkat daerah yang menyelenggarakan sub urusan bencana ditetapkan dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri; dan (3) Peraturan Menteri ditetapkan setelah mendapat pertimbangan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang aparatur negara.

Posisi yang tidak jelas bagi lembaga penanggulangan bencana di daerah ini semakin runyam karena sampai hari ini (per 3 Juni 2017) tidak ada kejelasan mengenai peraturan pelaksanaan dari PP No. 18/2016 itu, yaitu peraturan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) serta Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPan RB). Yang jelas, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah (Permendagri No. 46/2008) sudah tidak bisa dipakai lagi dalam pembentukan kelembagaan penanggulangan bencana di daerah. Dan oleh karena itu Permendagri No. 46/2008 itu mesti direvisi namun sampai sekarang pun tidak terdengar seperti apa revisi peraturan itu.

Peserta diskusi kelembagaan PB di Daerah serius mencermati paparan para narasumber.

Peserta diskusi kelembagaan PB di Daerah serius mencermati paparan para narasumber.

Pada akhir kegiatan ada saran kepada Pujiono Centre agar melakukan studi mengenai efektivitas lembaga PB di daerah, khususnya yang berbentuk BPBD sejauh mana tugas dan fungsinya telah dilaksanakan, seperti kelemahannya dimana, kendalanya apa, dan apa saja yang telah dilaksanakan serta apa saja yang sebaiknya dilakukan, dll. Pada bentuk badan (BPBD) yang sekarang ini diakui bahwa masih ada persepsi yang memandang BPBD sebagai “lembaga buangan”, staf BPBD sering mengalami rotasi yang sangat cepat, dll. Apa pun bentuk lembaga PB di daerah nantinya apakah akan berbentuk badan, dinas atau pun kantor kalau kinerja tidak betul-betul dipahami maka hal ini akan sangat mempengaruhi penyelenggaraan PB. Selain itu ke depan juga perlu dilakukan advokasi kepada pihak-pihak terkait, seperti Kemendagri, KemenPan RB, BNPB, DPR RI, dan lain-lain agar masalah kelembagaan penanggulangan bencana di daerah ini dapat berjalan sesuai dengan amanat UU No. 24/2007. — dp —

*) Ditulis oleh Djuni Pristiyanto – pujionocentre.org

Kemensos Ingin Pekerja Sosial dan Relawan Disertifikasi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kementerian Sosial mendorong adanya sertifikasi bagi pekerja sosial dalam penanggulangan bencana.

Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial RI Harry Hikmat menjelaskan peningkatan kemampuan pekerja sosial sangat diperlukan untuk meningkatkan efektivitas bansos dan pemulihan psikososial masyarakat yang terpapar bencana.

Untuk itu, harus ada sertifikasi bagi pekerja sosial dan relawan sosial TAGANA.

“Kemampuan dan ketangkasan para pekerja sosial mesti ditingkatkan untuk menjawab perkembangan permasalahan sosial di masyarakat. Kita mesti mengikuti perkembangan pendekatan, metode dan teknik-teknik dalam menyelesaikan masalah sosial berbasis ilmu pekerjaan sosial, tidak bisa menggunakan cara cara konvensional,” ujar Harry Hikmat, Senin(5/6/2017).

Harry juga mengaku akan menggandeng Pujiono Learning Centre dalam meningkatkan kemampuan pekerja sosial dan TAGANA di seluruh Indonesia.

Kerjasama ini lanjut Harry berupa peningkatan standar kompetensi pekerja sosial dan relawan sosial dalam penanggulangan bencana termasuk Kementerian Sosial mendorong adanya sertifikasi bagi pekerja sosial dalam penanggulangan bencana.

“Jika semua terlaksana dengan baik maka pemerintah akan mempunyai pekerja sosial yang mempunyai spesialisasi penanganan korban bencana disamping masalah sosial lainnya,” kata Harry.

Saat ini program studi pekerjaan sosial dengan kebencanaan sudah ada di STKS Bandung, namun baru tahun kedua.

“Kita butuh percepatan peningkatan kompetensi pekerja sosial. Paling tidak satu kabupaten/kota ada 50 pekerja sosial ahli penanggulangan bencana, sehingga butuh sekitar 25.000 orang pekerja sosial sampai dengan tahun 2019,”ujar Harry.

Indonesia sebagai negara yang rawan akan bencana tentunya membutuhkan kehadiran pekerja sosial yang sangat tanggap.

Tercatat pada tahun 2016 lalu sebanyak lebih dari 1,3 juta korban bencana alam yang membutuhkan penanganan layanan dukungan psikososial.

“Tahun ini dengan adanya iklim yang tidak menentu tentunya dikhawatirkan lebih banyak korban lagi yang harus kita tangani,” tegas Harry.

Selain meningkatkan kemampuan pekerja sosial, Kemensos juga akan terus berupaya meningkatkan kemampuan masyarakat untuk ikut terlibat aktif dalam menangani masalah sosial di lingkungan mereka seperti pembentukan Kampung Siaga Bencana.

“Peran aktif masyarakat seperti TAGANA yang saat ini telah menjadi andalan pemerintah dalam penanggulangan bencana dan pekerja sosial akan hadir bersama TAGANA dalam menyelesaikan persoalan secara cepat dan profesional” ujar Harry.

Sumber: http://www.tribunnews.com/nasional/2017/06/05/kemensos-ingin-pekerja-sosial-dan-relawan-disertifikasi

Relawan tanggap bencana harus bersertifikasi

Rimanews – Kementerian Sosial mendorong adanya sertifikasi bagi pekerja posial dalam penanggulangan bencana. Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial RI Harry Hikmat menjelaskan, peningkatan kemampuan pekerja sosial diperlukan untuk meningkatkan efektivitas bantuan sosial dan pemulihan psikososial masyarakat yang terpapar bencana.

“Kemampuan dan ketangkasan para pekerja sosial mesti ditingkatkan untuk menjawab perkembangan permasalahan sosial di masyarakat. Kita mesti mengikuti perkembangan pendekatan, metode dan teknik teknik dalam menyelesaikan masalah sosial berbasis ilmu Pekerjaan Sosial, tidak bisa menggunakan cara cara konvensional,” kata Harry Hikmat dalam keterangan persnya, hari ini.
Continue reading

Kemensos Butuh 25 Ribu Pekerja Sosial Sampai 2019

Petugas Taruna Siaga Bencana (TAGANA) Kota Tangerang membantu mengevakuasi warga korban banjir di perumahan Total Persada, Tangerang, Banten, Senin (14/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kementerian Sosial (Kemensos) mendorong adanya sertifikasi bagi pekerja sosial dalam penanggulangan bencana. Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial Kemensos, Harry Hikmat menjelaskan, peningkatan kemampuan pekerja sosial sangat diperlukan untuk meningkatkan efektivitas bantuan sosial dan pemulihan psikososial masyarakat yang terpapar bencana. Untuk itu, kata dia, harus ada sertifikasi bagi pekerja sosial dan relawan Taruna Siaga Bencana (Tagana).

Pak Harry Hikmat, Kemensos memaparkan ttg kebijakan perlindungan dan jaminan sosial

Pak Harry Hikmat, Kemensos memaparkan ttg kebijakan perlindungan dan jaminan sosial. Foto: Dok Pucen

“Kemampuan dan ketangkasan para pekerja sosial mesti ditingkatkan untuk menjawab perkembangan permasalahan sosial di masyarakat. Kita mesti mengikuti perkembangan pendekatan, metode dan teknik teknik dalam menyelesaikan masalah sosial berbasis ilmu pekerjaan sosial, tidak bisa menggunakan cara cara konvensional,” ujar Harry di Pujiono Learning Centre, Yogyakarta, dalam siaran pers kepada Republika, Senin (5/6).

Harry mengaku akan menggandeng Pujiono Learning Centre dalam meningkatkan kemampuan pekerja sosial dan Tagana di seluruh Indonesia. Kerja sama itu berupa; peningkatan standar kompetensi pekerja sosial dan relawan sosial dalam penanggulangan bencana, termasuk membangun sistem sertifikasi serta lisensi praktik pekerjaan sosial dalam penanggulangan bencana.

“Jika semua terlaksana dengan baik maka pemerintah akan mempunyai pekerja sosial yang mempunyai spesialisasi penanganan korban bencana disamping masalah sosial lainnya,” ujar Harry.

Saat ini, Program Studi Pekerjaan Sosial dengan Kebencanaan sudah ada di Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung, yang memasuki tahun kedua. Menurut Harry, Indonesia sebagai negara yang rawan akan bencana tentunya membutuhkan kehadiran pekerja sosial yang sangat tanggap. Tercatat pada 2016, sebanyak lebih 1,3 juta korban bencana alam yang membutuhkan layanan dukungan psikososial.

“Kita butuh percepatan peningkatan kompetensi pekerja sosial. Paling tidak satu kabupaten/kota ada 50 Pekerja Sosial Ahli Penanggulangan Bencana, sehingga butuh sekitar 25 ribu pekerja sosial sampai tahun 2019,” kata Harry.

Selain meningkatkan kemampuan pekerja sosial, Kemensos juga akan terus berupaya meningkatkan kemampuan masyarakat untuk ikut terlibat aktif dalam menangani masalah sosial dilingkungan mereka, seperti pembentukan Kampung Siaga Bencana. “Peran aktif masyarakat seperti Tagana yang telah menjadi andalan pemerintah dalam penanggulangan bencana dan pekerja sosial akan hadir bersama Tagana dalam menyelesaikan persoalan secara cepat dan profesional,” ujar Harry.

Sumber: http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/17/06/05/or2ir5349-kemensos-butuh-25-ribu-pekerja-sosial-sampai-2019

Social Work and Disaster Management Experts Meet and Share Knowledge

YOGYAKARTA, PUCEN – The topic of social work and disaster management becomes interesting discussion material in the monthly discussion of Ervi Pujiono Learning House (EPLH), a knowledge management arm of the Pujiono Centre. Studies of Social Work Profession and Disaster Risk Reduction have been progressing separately so far, while, in actuality, the two practice areas are complementary. Social workers are performing formidable number of tasks and services, such as helping disaster survivors, refugees, food aid, psychosocial support, etc.

Pak Harry Hikmat, Kemsos memaparkan ttg kebijakan perlindungan dan jaminan sosial

Pak Harry Hikmat, Kemsos memaparkan ttg kebijakan perlindungan dan jaminan sosial

The profession of social work has been rendering disaster management services such as community social protection in disaster prone areas, provision of basic services to natural as well as human-induced disasters, as well as the psychosocial support. The discussion highlighted that in the areas of risk prevention and reduction as well as in post disaster rehabilitation and reconstruction, where broad aspects of human and social interrelations has the social work profession to be one of the backbones, now has the ample opportunity to be further developed. In conjunction with the direction of the Sendai Framework to improve disaster risk reduction, the development and implementation of the standard of competence in social work in disaster risk reduction becomes important.

EPLH held this discussion on June 2, 2017 at Joglo Ervi Pujiono located at Karanglo Hamlet, Donoharjo Village, Ngaglik, Sleman Municipality, Special Region of Yogyakarta (DIY), Indonesia. The event was attended by more than 50 participants including the Director General of the Social Protection and Security of the Ministry of Social Welfare, Chief of the Provincial Disaster Management Agency of Central Java, Disaster Risk Reduction Forums (FPRB) of the provinces of East Java, Central java, West Java as well as the Special Region of Yogyakarta, Social Welfare offices of Yogyakarta City and Sleman, Indonesian Association of Professional Social Workers, Center for Displacement and Disaster Management Studies, community disaster management associations of Pasag Merapi Volcano, and CSOs such as the YEU, Indonesian Psychosocial Network, and the Pujiono Center.

Puji Pujiono memaparkan konsep baru ttg pekerjaan sosial penanggulangan bencana secara komprehensif

Puji Pujiono memaparkan konsep baru ttg pekerjaan sosial penanggulangan bencana secara komprehensif

The monthly seminar featured the topic of “The Role of the Profession of Social Work in Disaster Risk Reduction: the scope, relevance, actors, and applications” with the following speakers:

  1. Dr. Ir. Harry Hikmat, Director General of Social Protection and Social Security, Ministry of Social Affairs: “Disaster Management and Social Security Policy”. (donwload, PDF, Bahasa Indonesia)
  2. Dr. Didiet Widowati, Chairperson of the Indonesian Association of Professional Social Workers (IPSPI): “Social Work Practices Standard for Disaster Management”. (donwload, PDF, Bahasa Indonesia)
  3. Dr. Milly Mildawati, Head of Center for Refugees Displacement and Disaster Management Studies, Bandung School of Social Welfare: “Education, Research and Practice of Social Work in Disaster Management”. (donwload, PDF, Bahasa Indonesia)
  4. Ms. Nurul Eka Hermawan, Deputy Secretary General, Indonesian Consortium of Social Workers (KPSI) and Convener of Social Work Practitioners with Disaster Management: “Psychosocial Support & Psychological First Aid (PFA)”. (donwload, PDF, Bahasa Indonesia)
  5. Mr. Sigit Alifianto, SE., MM., Head of Social Assistance and Disaster Survivors, Yogyakarta Provincial Social Service: “Experience of DIY Social Service in Disaster Management”.
  6. Dr. Puji Pujiono, MSW., Pujiono Centre: “Social Work with Disaster Risk Reduction: An overview”. (donwload, PDF, Bahasa Indonesia)
  7. The seminar was moderated by Ms. Ester Budhi, Chairperson of Indonesian Association of Professional Social Workers, Yogyakarta Chapter.
Para peserta diskusi dari unsur peksos dan penanggulangan bencana

Para peserta diskusi dari unsur peksos dan penanggulangan bencana

At the conclusion of the seminar, there was a plan to establish the Association of Social Workers in Disaster Management to be followed by the review of the standard of competence of social work in disaster risk reduction. A “white paper” will be developed to this end.

Ervi Pujiono Learning House (E-Pujiono), as the host of this seminar, is a division of the Pujiono Centre (PUCEN) that was launched on May 6, 2017, as a “Knowledge Management on Disaster Resilience and Climate Change Adaptation”. To achieve this, the EPLH provides the E-Pujiono Fellowship 2017 – 2018, publication of a series of books on disaster resilience and adaptation to climate change in Indonesia; and a series of seminars on the theme of disaster resilience and climate change adaptation.

This was the first seminar in the series, to be followed by the topic on “The launch and book’s discussion on the Local Level Disaster Management Institutional Arrangements: a Study on the Policy Implementation & Nationwide Directory of the Local Disaster Management Agencies”. — dp —