Harianjogja.com, SLEMAN-Budaya Jawa berperan mempercepat rekonstruksi dan rehabilitasi paska bencana gempa bumi yang melanda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)-Jawa Tengah 2006.
Koordinator Bidang Advokasi Forum Pengurangan Risiko Bencana DIY, Aris Sustiyono mengatakan, peranan budaya Jawa ini ada pada falsafah hidup yangA� yang dicetuskan oleh Sri Sultan Hamengkubuwana I, Hamemayu Hayuning Bawana.
Secara mudah dapat diartikan sebagai bentuk hubungan yang harmonis, baik antara manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan, maupun manusia dengan alam sekitarnya.
Ada tiga pesan yang dibawa dari falsafah ini, pertama yakni rahayuning bawana waskitaning manungsa, artinya kesejahteraan dunia tergantung pada manusia yang memiliki ketajaman rasa. Dari kalimat ini, sikap yang diambil dalam kebencanaan adalah meyakini bencana sebagai siklus alam yang sudah seharusnya dikenali tanda-tandanya.
Kedua yaitu darmaning manungsa mahananing rahayuning negara, maknanya apa yang dijalankan dan dilakukan harus dapat menyelamatkan negara sebagai wadah berkumpulnya manusia yang hidup berdampingan. Ketiga berbunyi rahayuning manungsa dumadi karana kamanungsane, maksudnya bahwa rasa kemanusiaan perlu dibina untuk saling tolong dan membantu satu sama lain ketika terjadi kesusahan.
a�?Masyarakat DIY sejak dulu kala dikenal memiliki sebuah tradisi dan pengetahuan adiluhung mengenai tata kelola kehidupan masyarakatnya. Hal ini mestinya dapat menjadi satu pegangan atau prinsip pembangunan yang dianut agar arus modernisasi tidak serta merta menghapus pengetahuan/kearifan lokal yang sudah ada sebelumnya,a�? tuturnya, dalam kegiatan sarasehan Kilas Balik Pembangunan Pasca Gempa Bumi DIYa�� Jawa Tengah 2006, Rabu (25/5/2016) di Pusat Studi Bencana Alam Universitas Gadjah Mada (UGM).
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY, Gatot Saptadi yang turut hadir menyebutkan, gempa bumi berkekuatan 5,9 Skala Richter yang melanda DIY dan Jawa Tengah pada 27 Mei 2006 silam mengakibatkan 5.749 korban meninggal, 428.909 rumah penduduk rusak berat atau roboh, dan menimbulkan total kerugian sekitar Rp29,2 Triliun.
Sejak peristiwa tersebut, upaya pengurangan risiko bencana telah menjadi bagian penting dalam program pembangunan yang dilakukan di semua sektor.
Besarnya dampak yang timbul dalam peristiwa ini menunjukkan ketidaksiapan pemerintah pada saat itu dalam menanggulangi potensi gempa di wilayah DIY. Namun, usai peristiwa tersebut, proses pemulihan dan pembangunan berlangsung relatif cepat. Dalam jangka waktu 253 hari, sebanyak 144.034 rumah yang roboh atau rusak berat telah dibangun kembali, atau dengan kata lain, rata-rata 570 rumah dibangun setiap harinya.
Menambahkan apa yang disampaikan Ari, setidaknya ada empat faktor yang menentukan keberhasilan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi pasca gempa, yang kesemuanya bersumber dari kearifan masyarakat Jogja.
Keempat hal ini adalah kepemimpinan, kepemimpinan ini ditunjukkan dengan kehadiran Sultan dan Ratu dan sejumlah pemimpin daerah, mengunjungi korban gempa dan memberikan mereka semangat serta motivasi untuk bangkit.
Poin selanjutnya ialah penerapan kearifan lokal, pemberdayaan masyarakat secara benar, serta nilai-nilai kehidupan masyarakat, seperti budaya tolong menolong dan saling menghargai.
a�?Proses pemulihan ini konsepnya community-based. Pemerintah memberikan stimulan sebesar Rp15 juta per rumah, dan masyarakat rata-rata berkontribusi sebesar Rp28,10 juta, baik dalam bentuk dana, tenaga kerja, material, serta berbagai peralatan bangunan,a�? imbuhnya.
Kamis, 26 Mei 2016 15:46 WIB | Uli Febriarni/JIBI/Harian Jogja |
http://www.harianjogja.com/baca/2016/05/26/rekonstruksi-pascagempa-2006-budaya-jawa-berperan-mempercepat-rekonstruksi-dan-rehabilitasi-723195